قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: مَا الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا
كَماَ يَمْشِي أَحَدُكُمْ إِلَى الْيَمِّ فَأَدْخَلَ أُصْبُعَهُ فِيْهِ
فَماَ خَرَجَ مِنْهُ فَهُوَ فِي الدُّنْيَا –الحاكم
Artinya: Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,”Tidaklah
dunia bagi akhirat kecuali seperti salah satu dari kalian berjalan
menuju samudera lalu ia memasukkan jarinya padanya, maka apa yang
menetes darinya adalah untuk dunia.” (Riwayat Al Hakim dan beliau menshahihkannya)
Bayangkan jika kita sedang melaksanakan sebuah ujian tertulis. Dengan sangat percaya diri mencontek jawaban teman atau buku catatan. Pada saat-saat seperti itu tiba-tiba malaikat Izroil mendapatkan surat tugas untuk manjemput kita. Jegeeeerrrrr... tinggallah jasad kita di dunia. Su'ul khotimah adalah vonis dari hukum Allah. Lalu mau ngomong apa kita nanti jika telah tiba masa pertanggungjawaban. Padahal masa di akhirat jauh lebih segalanya dari segala yang ada di dunia. Dari mulai jauh lebih lama, jauh lebih nikmat jika di surga, jauh lebih sengsara jika tersiksa di neraka, dsb. Kita tidak pernah tahu apakah 1 menit lagi kita masih bisa bersama-sama orang yang kita kasihi atau tidak, saat kita pulang dari sebuah perantauan kita masih bisa melihat wajah bapak ibu kita atau tidak, atau bertemu dengan anak-anak kita yang dengan kegirangan menyambut orang tua yang tengah dirindunya, sekali lagi tidak ada kepastian. Yang pasti adalah barang siapa yang berperilaku sesuai Al Qur'an dan Hadits adalah ahluljannah (ahli surga) .
Sebagai makhluk, manusia
mengalami tiga fase kehidupan, kehidupan dunia dan kehidupan akhirat
serta kehidupan di antara keduanya. Maka jika dibandingkan lama
kehidupan dunia tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan dua
kehidupan setelahnya yang bersifat kekal.
Imam Al
Munawi menjelaskan bahwa permisalan di atas adalah permisalan antara
yang ghaib (akhirat) dengan yang hadir yakni lautan dan air yang menetas
dari jari bertujuan untuk memudahkan pemahaman dalam menggambarkan
keremehan dunia meski pada hakikatnya keremehan dunia terhadap akhirat
jauh lebih rendah. (Lihat, Faidh Al Qadir, 5/517)
Ketika
manusia akhirnya memahami dengan benar nilai dunia dibanding akhirat
maka hal itu bisa mengingatkan dari keterlenaannya dari dunia dan
sekaligus memotivasinya untuk meningkatkan amalan sebagai bekal kelak di
akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar